Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
DETAIL PERATURAN
Berikut detail Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023
META | KETERANGAN |
---|---|
Judul | Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 |
SubJudul | KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA |
Jenis | Undang-Undang (UU) |
Nomor | 1 |
Tahun | 2023 |
Tempat Penetapan | Jakarta |
Tanggal Penetapan | 02 Januari 2023 |
Nama Jabatan Penetapan | PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA |
Nama Pejabat Penetapan | JOKO WIDODO |
Tempat Pengundangan | Jakarta |
Tanggal Pengundangan | 02 Januari 2023 |
Nama Jabatan Pengundangan | MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA |
Nama Pejabat Pengundangan | PRATIKNO |
Publikasi | Lembaran Negara Republik Indonesia |
Nomor Publikasi | 1 |
Tahun Publikasi | 2023 |
Penjelasan | Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia |
Nomor Penjelasan | 6842 |
POHON PERATURAN
-
-
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2023
TENTANG
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA- DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
- PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
- KONSIDERANS
- DASAR HUKUM
- DIKTUM
-
--- PILIH BUKU ---
- BATANG TUBUH
-
BUKU KESATU
ATURAN UMUM
ATURAN UMUM
BAB I
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA
Bagian Kesatu
Menurut Waktu
Menurut Waktu
Pasal 1
(2) | Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang digunakan analogi. |
Pasal 2
(3) | Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
Pasal 3
(2) | Dalam hal perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan Tindak Pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, proses hukum terhadap tersangka atau terdakwa harus dihentikan demi hukum. |
(5) | Dalam hal putusan pemidanaan telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), instansi atau Pejabat yang melaksanakan pembebasan merupakan instansi atau Pejabat yang berwenang. |
(6) | Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) tidak menimbulkan hak bagi tersangka, terdakwa, atau terpidana menuntut ganti rugi. |
Bagian Kedua
Menurut Tempat
Menurut Tempat
Paragraf 1
Asas Wilayah atau Teritorial
Asas Wilayah atau Teritorial
Pasal 4
a. | Tindak Pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; |
b. | Tindak Pidana di Kapal Indonesia atau di Pesawat Udara Indonesia; atau |
Paragraf 2
Asas Pelindungan dan Asas Nasional Pasif
Asas Pelindungan dan Asas Nasional Pasif
Pasal 5
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan Tindak Pidana terhadap kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berhubungan dengan:
a. | keamanan negara atau proses kehidupan ketatanegaraan; |
b. | martabat Presiden, Wakil Presiden, dan/atau Pejabat Indonesia di luar negeri; |
c. | mata uang, segel, cap negara, meterai, atau surat berharga yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia, atau kartu kredit yang dikeluarkan oleh perbankan Indonesia; |
d. | perekonomian, perdagangan, dan perbankan Indonesia; |
e. | keselamatan atau keamanan pelayaran dan penerbangan; |
f. | keselamatan atau keamanan bangunan, peralatan, dan aset nasional atau negara Indonesia; |
g. | keselamatan atau keamanan sistem komunikasi elektronik; |
h. | kepentingan nasional Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang; atau |
i. | warga negara Indonesia berdasarkan perjanjian internasional dengan negara tempat terjadinya Tindak Pidana. |
Paragraf 3
Asas Universal
Asas Universal
Pasal 6
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan Tindak Pidana menurut hukum internasional yang telah ditetapkan sebagai Tindak Pidana dalam Undang-Undang.
Pasal 7
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang penuntutannya diambil alih oleh Pemerintah Indonesia atas dasar suatu perjanjian internasional yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan penuntutan pidana.
Paragraf 4
Asas Nasional Aktif
Asas Nasional Aktif
Pasal 8
(1) | Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi setiap warga negara Indonesia yang melakukan Tindak Pidana di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku jika perbuatan tersebut juga merupakan Tindak Pidana di negara tempat Tindak Pidana dilakukan. |
(3) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk Tindak Pidana yang diancam dengan pidana denda paling banyak kategori III. |
Paragraf 5
Pengecualian
Pengecualian
Pasal 9
Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan menurut perjanjian internasional yang berlaku.
Bagian Ketiga
Waktu Tindak Pidana
Waktu Tindak Pidana
Pasal 10
Bagian Keempat
Tempat Tindak Pidana
Tempat Tindak Pidana
Pasal 11
BAB II
TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Bagian Kesatu
Tindak Pidana
Tindak Pidana
Paragraf 1
Umum
Umum
Pasal 12
(1) | Tindak Pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan. |
(3) | Setiap Tindak Pidana selalu bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar. |
Paragraf 2
Permufakatan Jahat
Permufakatan Jahat
Pasal 13
(1) | Permufakatan jahat terjadi jika 2 (dua) orang atau lebih bersepakat untuk melakukan Tindak Pidana. |
(2) | Permufakatan jahat melakukan Tindak Pidana dipidana jika ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang. |
(3) | Pidana untuk permufakatan jahat melakukan Tindak Pidana paling banyak 1/3 (satu per tiga) dari maksimum ancaman pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan. |
(4) | Permufakatan jahat melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. |
(5) | Pidana tambahan untuk permufakatan jahat melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan. |
Pasal 14
a. | menarik diri dari kesepakatan itu; atau |
b. | melakukan tindakan yang patut untuk mencegah terjadinya Tindak Pidana. |
Paragraf 3
Persiapan
Persiapan
Pasal 15
(2) | Persiapan melakukan Tindak Pidana dipidana, jika ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang. |
(3) | Pidana untuk persiapan melakukan Tindak Pidana paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan. |
(4) | Persiapan melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. |
(5) | Pidana tambahan untuk persiapan melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan. |
Pasal 16
Persiapan melakukan Tindak Pidana tidak dipidana jika pelaku menghentikan atau mencegah kemungkinan terciptanya kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1).
Paragraf 4
Percobaan
Percobaan
Pasal 17
(2) | Permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi jika: | |
(3) | Pidana untuk percobaan melakukan Tindak Pidana paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari maksimum ancaman pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan. |
(4) | Percobaan melakukan Tindak Pidana yang diancamkan dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. |
(5) | Pidana tambahan untuk percobaan melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan. |
Pasal 18
(1) | Percobaan melakukan Tindak Pidana tidak dipidana jika pelaku setelah melakukan permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1): | |
Pasal 19
Percobaan melakukan Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II, tidak dipidana.
Paragraf 5
Penyertaan
Penyertaan
Pasal 20
a. | melakukan sendiri Tindak Pidana; |
b. | melakukan Tindak Pidana dengan perantaraan alat atau menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan; |
c. | turut serta melakukan Tindak Pidana; atau |
Pasal 21
(1) | Setiap Orang dipidana sebagai pembantu Tindak Pidana jika dengan sengaja: | |
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pembantuan terhadap Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II. |
(3) | Pidana untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari maksimum ancaman pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan. |
(4) | Pembantuan melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. |
(5) | Pidana tambahan untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan. |
Pasal 22
Keadaan pribadi pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 atau pembantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat menghapus, mengurangi, atau memperberat pidananya.
Paragraf 6
Pengulangan
Pengulangan
Pasal 23
(1) | Pengulangan Tindak Pidana terjadi jika Setiap Orang: | |
(3) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku untuk Tindak Pidana mengenai penganiayaan. |
Paragraf 7
Tindak Pidana Aduan
Tindak Pidana Aduan
Pasal 24
(1) | Dalam hal tertentu, pelaku Tindak Pidana hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan. |
(2) | Tindak Pidana aduan harus ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang. |
Pasal 25
(1) | Dalam hal korban Tindak Pidana aduan belum berusia 16 (enam belas) tahun, yang berhak mengadu merupakan Orang Tua atau walinya. |
(2) | Dalam hal Orang Tua atau wali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada atau Orang Tua atau wali itu sendiri yang harus diadukan, pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis lurus. |
(3) | Dalam hal keluarga sedarah dalam garis lurus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada, pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga. |
Pasal 26
(1) | Dalam hal Korban Tindak Pidana aduan berada di bawah pengampuan, yang berhak mengadu merupakan pengampunya, kecuali bagi Korban Tindak Pidana aduan yang berada dalam pengampuan karena boros. |
Pasal 27
Dalam hal Korban Tindak Pidana aduan meninggal dunia, pengaduan dapat dilakukan oleh Orang Tua, anak, suami, atau istri Korban, kecuali jika Korban sebelumnya secara tegas tidak menghendaki adanya penuntutan.
Pasal 28
(1) | Pengaduan dilakukan dengan cara menyampaikan pemberitahuan dan permohonan untuk dituntut. |
(2) | Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara lisan atau tertulis kepada Pejabat yang berwenang. |
Pasal 29
(1) | Pengaduan harus diajukan dalam tenggang waktu: | |
(2) | Jika yang berhak mengadu lebih dari 1 (satu) orang, tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak tanggal masing-masing pengadu mengetahui adanya Tindak Pidana. |
Pasal 30
(1) | Pengaduan dapat ditarik kembali oleh pengadu dalam waktu 3 (tiga) Bulan terhitung sejak tanggal pengaduan diajukan. |
(2) | Pengaduan yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi. |
Paragraf 8
Alasan Pembenar
Alasan Pembenar
Pasal 31
Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana, jika perbuatan tersebut dilakukan untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 32
Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana, jika perbuatan tersebut dilakukan untuk melaksanakan perintah jabatan dari Pejabat yang berwenang.
Pasal 33
Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana, jika perbuatan tersebut dilakukan karena keadaan darurat.
Pasal 34
Setiap Orang yang terpaksa melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana, jika perbuatan tersebut dilakukan karena pembelaan terhadap serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, serta kehormatan dalam arti kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain.
Pasal 35
Ketiadaan sifat melawan hukum dari Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) merupakan alasan pembenar.
Bagian Kedua
Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban Pidana
Paragraf 1
Umum
Umum
Pasal 36
(1) | Setiap Orang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan. |
Pasal 37
a. | dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur Tindak Pidana tanpa memperhatikan adanya kesalahan; atau |
b. | dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan oleh orang lain. |
Pasal 38
Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan.
Pasal 39
Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.
Paragraf 2
Alasan Pemaaf
Alasan Pemaaf
Pasal 40
Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dikenakan terhadap anak yang pada waktu melakukan Tindak Pidana belum berumur 12 (dua belas) tahun.
Pasal 41
Dalam hal anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan Tindak Pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional mengambil keputusan untuk:
a. | menyerahkan kembali kepada Orang Tua/wali; atau |
Pasal 42
a. | dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan; atau |
b. | dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari. |
Pasal 43
Setiap Orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum, tidak dipidana.
Pasal 44
Perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang tidak mengakibatkan hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintahkan dengan iktikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkup pekerjaannya.
Paragraf 3
Pertanggungjawaban Korporasi
Pertanggungjawaban Korporasi
Pasal 45
(1) | Korporasi merupakan subjek Tindak Pidana. |
Pasal 46
Tindak Pidana oleh Korporasi merupakan Tindak Pidana yang dilakukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi Korporasi atau orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi atau bertindak demi kepentingan Korporasi, dalam lingkup usaha atau kegiatan Korporasi tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Pasal 47
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Tindak Pidana oleh Korporasi dapat dilakukan oleh pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat Korporasi yang berada di luar struktur organisasi, tetapi dapat mengendalikan Korporasi.
Pasal 48
Tindak Pidana oleh Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 dapat dipertanggungjawabkan, jika:
a. | termasuk dalam lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi Korporasi; |
b. | menguntungkan Korporasi secara melawan hukum; dan |
c. | diterima sebagai kebijakan Korporasi. |
e. | Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana. |
Pasal 49
Pertanggungjawaban atas Tindak Pidana oleh Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dikenakan terhadap Korporasi, pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat Korporasi.
Pasal 50
Alasan pembenar dan alasan pemaaf yang dapat diajukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/ atau pemilik manfaat Korporasi dapat juga diajukan oleh Korporasi sepanjang alasan tersebut berhubungan langsung dengan Tindak Pidana yang didakwakan kepada Korporasi.
BAB III
PEMIDANAAN, PIDANA, DAN TINDAKAN
PEMIDANAAN, PIDANA, DAN TINDAKAN
Bagian Kesatu
Tujuan dan Pedoman Pemidanaan
Tujuan dan Pedoman Pemidanaan
Paragraf 1
Tujuan Pemidanaan
Tujuan Pemidanaan
Pasal 51
a. | mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat; |
b. | memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna; |
c. | menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat; dan |
d. | menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. |
Pasal 52
Paragraf 2
Pedoman Pemidanaan
Pedoman Pemidanaan
Pasal 53
(1) | Dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. |
(2) | Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan. |
Pasal 54
(1) | Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan: | |
Pasal 55
Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan alasan peniadaan pidana jika orang tersebut telah dengan sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan peniadaan pidana tersebut.
Pasal 56
a. | tingkat kerugian atau dampak yang ditimbulkan; |
b. | tingkat keterlibatan pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional Korporasi dan/atau peran pemberi perintah, pemegang kendali, pemberi perintah, dan/atau pemilik manfaat Korporasi; |
c. | lamanya Tindak Pidana yang telah dilakukan; |
d. | frekuensi Tindak Pidana oleh Korporasi; |
e. | bentuk kesalahan Tindak Pidana; |
f. | keterlibatan Pejabat; |
g. | nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat; |
h. | rekam jejak Korporasi dalam melakukan usaha atau kegiatan; |
i. | pengaruh pemidanaan terhadap Korporasi; dan/atau |
j. | kerja sama Korporasi dalam penanganan Tindak Pidana. |
Paragraf 3
Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan Perumusan Alternatif
Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan Perumusan Alternatif
Pasal 57
Dalam hal Tindak Pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif, penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan jika hal itu dipertimbangkan telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan.
Paragraf 4
Pemberatan Pidana
Pemberatan Pidana
Pasal 58
b. | penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara Indonesia pada waktu melakukan Tindak Pidana; atau |
c. | pengulangan Tindak Pidana. |
Pasal 59
Pemberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dapat ditambah paling banyak 1/3 (satu per tiga) dari maksimum ancaman pidana.
Paragraf 5
Ketentuan Lain tentang Pemidanaan
Ketentuan Lain tentang Pemidanaan
Pasal 60
(1) | Pidana penjara dan pidana tutupan bagi terpidana yang sudah berada di dalam tahanan mulai berlaku pada saat putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. |
(2) | Dalam hal terpidana tidak berada di dalam tahanan, pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pada saat putusan pengadilan mulai dilaksanakan. |
Pasal 61
(2) | Pengurangan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disepadankan dengan penghitungan pidana penjara pengganti denda. |
Pasal 62
(1) | Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati. |
(2) | Ketentuan mengenai syarat dan tata cara permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Undang-Undang. |
Pasal 63
Jika narapidana melarikan diri, masa selama narapidana melarikan diri tidak diperhitungkan sebagai waktu menjalani pidana penjara.
Bagian Kedua
Pidana dan Tindakan
Pidana dan Tindakan
Paragraf 1
Pidana
Pidana
Pasal 64
a. | pidana pokok; |
b. | pidana tambahan; dan |
c. | pidana yang bersifat khusus untuk Tindak Pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang. |
Pasal 65
(1) | Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a terdiri atas: | |
(2) | Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat atau ringannya pidana. |
Pasal 66
(1) | Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf b terdiri atas: | |
(2) | Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan dalam hal penjatuhan pidana pokok saja tidak cukup untuk mencapai tujuan pemidanaan. |
(3) | Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhkan 1 (satu) jenis atau lebih. |
(4) | Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidananya. |
Pasal 67
Pidana yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif.
Pasal 68
(1) | Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu. |
(2) | Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut-turut atau paling singkat 1 (satu) Hari, kecuali ditentukan minimum khusus. |
(4) | Pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan lebih dari 20 (dua puluh) tahun. |
Pasal 69
(2) | Ketentuan mengenai tata cara perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara 20 (dua puluh) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
Pasal 70
(1) | Dengan tetap mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 54, pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan: | |
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi: | |
Pasal 71
(2) | Pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dijatuhkan jika: | |
(3) | Pidana denda yang dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana denda paling banyak kategori V dan pidana denda paling sedikit kategori III. |
(4) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tidak berlaku bagi orang yang pernah dijatuhi pidana penjara untuk Tindak Pidana yang dilakukan sebelum berumur 18 (delapan belas) tahun. |
Pasal 72
(2) | Narapidana yang menjalani beberapa pidana penjara berturut-turut dianggap jumlah pidananya sebagai 1 (satu) pidana. |
(3) | Dalam memberikan pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditentukan masa percobaan dan syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan. |
(4) | Masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah dengan 1 (satu) tahun. |
(5) | Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ditahan sebagai tersangka atau terdakwa dalam perkara lain tidak diperhitungkan waktu penahanannya sebagai masa percobaan. |
Pasal 73
(1) | Syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (3) terdiri atas: | |
(2) | Syarat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diubah, dihapus, atau diadakan syarat baru yang semata-mata bertujuan untuk pembimbingan narapidana. |
(3) | Narapidana yang melanggar syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dicabut pembebasan bersyaratnya. |
(5) | Dalam hal narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dijatuhi pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana denda paling sedikit kategori III, pembebasan bersyarat dicabut. |
Pasal 74
(1) | Orang yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara karena keadaan pribadi, perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan. |
(2) | Pidana tutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan Tindak Pidana karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. |
Pasal 75
Terdakwa yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dapat dijatuhi pidana pengawasan dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 54 dan Pasal 70.
Pasal 76
(1) | Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dijatuhkan paling lama sama dengan pidana penjara yang diancamkan yang tidak lebih dari 3 (tiga) tahun. |
(2) | Dalam putusan pidana pengawasan ditetapkan syarat umum, berupa terpidana tidak akan melakukan Tindak Pidana lagi. |
(3) | Selain syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam putusan juga dapat ditetapkan syarat khusus, berupa: | |
(4) | Dalam hal terpidana melanggar syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana wajib menjalani pidana penjara yang lamanya tidak lebih dari ancaman pidana penjara bagi Tindak Pidana itu. |
(6) | Jaksa dapat mengusulkan pengurangan masa pengawasan kepada hakim jika selama dalam pengawasan terpidana menunjukkan kelakuan yang baik, berdasarkan pertimbangan pembimbing kemasyarakatan. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara dan batas pengurangan dan perpanjangan masa pengawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
Pasal 77
(1) | Jika terpidana selama menjalani pidana pengawasan melakukan Tindak Pidana dan dijatuhi pidana yang bukan pidana mati atau bukan pidana penjara, pidana pengawasan tetap dilaksanakan. |
(2) | Jika terpidana dijatuhi pidana penjara, pidana pengawasan ditunda dan dilaksanakan kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara. |
Pasal 78
(1) | Pidana denda merupakan sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. |
(2) | Jika tidak ditentukan minimum khusus, pidana denda ditetapkan paling sedikit Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). |
Pasal 79
(1) | Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: | |
(2) | Dalam hal terjadi perubahan nilai uang, ketentuan besarnya pidana denda ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. |
Pasal 80
(1) | Dalam menjatuhkan pidana denda, hakim wajib mempertimbangkan kemampuan terdakwa dengan memperhatikan penghasilan dan pengeluaran terdakwa secara nyata. |
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi penerapan minimum khusus pidana denda yang ditetapkan. |
Pasal 81
(1) | Pidana denda wajib dibayar dalam jangka waktu tertentu yang dimuat dalam putusan pengadilan. |
(2) | Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menentukan pembayaran pidana denda dengan cara mengangsur. |
Pasal 82
(2) | Lama pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: | |
(3) | Jika pada saat menjalani pidana pengganti sebagian pidana denda dibayar, lama pidana pengganti dikurangi menurut ukuran yang sepadan. |
(4) | Perhitungan lama pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada ukuran untuk setiap pidana denda Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) atau kurang yang disepadankan dengan: | |
Pasal 83
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) berlaku juga untuk ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang mengenai pidana penjara pengganti. |
Pasal 84
Setiap Orang yang telah berulang kali dijatuhi pidana denda untuk Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II dapat dijatuhi pidana pengawasan paling lama 6 (enam) Bulan dan pidana denda yang diperberat paling banyak 1/3 (satu per tiga).
Pasal 85
(2) | Dalam menjatuhkan pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib mempertimbangkan: | |
(3) | Pelaksanaan pidana kerja sosial tidak boleh dikomersialkan. |
(4) | Pidana kerja sosial dijatuhkan paling singkat 8 (delapan) jam dan paling lama 240 (dua ratus empat puluh) jam. |
(6) | Pelaksanaan pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dimuat dalam putusan pengadilan. |
(7) | Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) juga memuat perintah jika terpidana tanpa alasan yang sah tidak melaksanakan seluruh atau sebagian pidana kerja sosial, terpidana wajib: | |
(8) | Pengawasan terhadap pelaksanaan pidana kerja sosial dilakukan oleh jaksa dan pembimbingan dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan. |
(9) | Putusan pengadilan mengenai pidana kerja sosial juga harus memuat: | |
Pasal 86
Pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf a dapat berupa:
a. | hak memegang jabatan publik pada umumnya atau jabatan tertentu; |
b. | hak menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; |
c. | hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; |
d. | hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas atas orang yang bukan Anaknya sendiri; |
e. | hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian, atau mengampu atas Anaknya sendiri; |
f. | hak menjalankan profesi tertentu; dan/atau |
g. | hak memperoleh pembebasan bersyarat. |
Pasal 87
Kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang, pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf f hanya dapat dilakukan jika pelaku dipidana karena melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berupa:
a. | Tindak Pidana terkait jabatan atau Tindak Pidana yang melanggar kewajiban khusus suatu jabatan; |
b. | Tindak Pidana yang terkait dengan profesinya; atau |
c. | Tindak Pidana dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan atau profesinya. |
Pasal 88
Kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang, pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf d dan huruf e, hanya dapat dilakukan jika pelaku dipidana karena:
a. | dengan sengaja melakukan Tindak Pidana bersama-sama dengan Anak yang berada dalam kekuasaannya; atau |
b. | melakukan Tindak Pidana terhadap Anak yang berada dalam kekuasaannya. |
Pasal 89
Kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang, pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf g hanya dapat dilakukan jika pelaku dipidana karena:
a. | melakukan Tindak Pidana jabatan atau Tindak Pidana yang melanggar kewajiban khusus suatu jabatan; |
b. | menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan; atau |
c. | melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau lebih. |
Pasal 90
(1) | Jika pidana pencabutan hak dijatuhkan, lama pencabutan wajib ditentukan jika: | |
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku jika yang dicabut adalah hak memperoleh pembebasan bersyarat. |
(3) | Pidana pencabutan hak mulai berlaku pada tanggal putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. |
Pasal 91
Pidana tambahan berupa perampasan Barang tertentu dan/atau tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf b yang dapat dirampas meliputi Barang tertentu dan/atau tagihan:
a. | yang dipergunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan Tindak Pidana; |
b. | yang khusus dibuat atau diperuntukkan mewujudkan Tindak Pidana; |
c. | yang berhubungan dengan terwujudnya Tindak Pidana; |
d. | milik terpidana atau orang lain yang diperoleh dari Tindak Pidana; |
e. | dari keuntungan ekonomi yang diperoleh, baik secara langsung maupun tidak langsung dari Tindak Pidana; dan/atau |
f. | yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. |
Pasal 92
(2) | Dalam hal Barang yang tidak disita tidak dapat diserahkan, barang tersebut diganti dengan sejumlah uang menurut taksiran hakim sesuai dengan harga pasar. |
(3) | Jika terpidana tidak mampu membayar seluruh atau sebagian harga pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diberlakukan ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda. |
Pasal 93
(1) | Jika dalam putusan pengadilan diperintahkan supaya putusan diumumkan, harus ditetapkan cara melaksanakan pengumuman tersebut dengan biaya yang ditanggung oleh terpidana. |
(2) | Jika biaya pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayar oleh terpidana, diberlakukan ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda. |
Pasal 94
Pasal 95
(1) | Pidana tambahan berupa pencabutan izin dikenakan kepada pelaku dan pembantu Tindak Pidana yang melakukan Tindak Pidana yang berkaitan dengan izin yang dimiliki. |
(2) | Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan: | |
(4) | Dalam hal dljatuhi pidana denda, pencabutan izin berlaku paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun. |
(5) | Pidana pencabutan izin mulai berlaku pada tanggal putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. |
Pasal 96
(1) | Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat diutamakan jika Tindak Pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). |
(2) | Pemenuhan kewajiban adat setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda kategori II. |
(3) | Dalam hal kewajiban adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi, pemenuhan kewajiban adat diganti dengan ganti rugi yang nilainya setara dengan pidana denda kategori II. |
(4) | Dalam hal ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi, ganti rugi diganti dengan pidana pengawasan atau pidana kerja sosial. |
Pasal 97
Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan Tindak Pidana dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 2 ayat (2).
Pasal 98
Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat.
Pasal 99
(1) | Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden. |
(2) | Pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan Di Muka Umum. |
(3) | Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak atau dengan cara lain yang ditentukan dalam Undang-Undang. |
Pasal 100
(1) | Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan: | |
(2) | Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan. |
(3) | Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. |
(5) | Pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan. |
Pasal 101
Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama l0 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden.
Pasal 102
Paragraf 2
Tindakan
Tindakan
Pasal 103
(1) | Tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok berupa: | |
(2) | Tindakan yang dapat dikenakan kepada Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 berupa: | |
(3) | Jenis, jangka waktu, tempat, dan/atau pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam putusan pengadilan. |
Pasal 104
Dalam menjatuhkan putusan berupa tindakan, hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 54.
Pasal 105
(1) | Tindakan rehabilitasi dikenakan kepada terdakwa yang: | |
(2) | Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: | |
Pasal 106
(1) | Dalam mengenakan tindakan pelatihan kerja, hakim wajib mempertimbangkan: | |
(2) | Dalam menentukan jenis pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, hakim wajib memperhatikan pengalaman kerja dan tempat tinggal terdakwa. |
Pasal 107
Tindakan perawatan di lembaga dikenakan berdasarkan keadaan pribadi terdakwa serta demi kepentingan terdakwa dan masyarakat.
Pasal 108
Tindakan perbaikan akibat Tindak Pidana adalah upaya memulihkan atau memperbaiki kerusakan akibat Tindak Pidana menjadi seperti semula.
Pasal 109
Tindakan penyerahan terdakwa kepada pemerintah atau seseorang dikenakan demi kepentingan terdakwa dan masyarakat.
Pasal 110
(1) | Tindakan perawatan di rumah sakit jiwa dikenakan terhadap terdakwa yang dilepaskan dari segala tuntutan hukum dan masih dianggap berbahaya berdasarkan hasil penilaian dokter jiwa. |
(2) | Penghentian tindakan perawatan di rumah sakit jiwa dilakukan jika yang bersangkutan tidak memerlukan perawatan lebih lanjut berdasarkan hasil penilaian dokter jiwa. |
(3) | Penghentian tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan penetapan halim yang memeriksa perkara pada tingkat pertama yang diusulkan oleh jaksa. |
Pasal 111
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana dan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 110 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Diversi, Tindakan, dan Pidana bagi Anak
Diversi, Tindakan, dan Pidana bagi Anak
Paragraf 1
Diversi
Diversi
Pasal 112
Anak yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan Tindak Pidana wajib diupayakan diversi.
Paragraf 2
Tindakan
Tindakan
Pasal 113
(1) | Setiap Anak dapat dikenai tindakan berupa: | |
(2) | Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan paling lama 1 (satu) tahun. |
(3) | Anak di bawah umur 14 (empat belas) tahun tidak dapat dijatuhi pidana dan hanya dapat dikenai tindakan. |
Paragraf 3
Pidana
Pidana
Pasal 114
a. | pidana pokok; dan |
b. | pidana tambahan. |
Pasal 115
a. | pidana peringatan; |
b. | pidana dengan syarat: | |
c. | pelatihan kerja; |
d. | pembinaan dalam lembaga; dan |
e. | pidana penjara. |
Pasal 116
a. | perampasan keuntungan yang diperoleh dari Tindak Pidana; atau |
b. | pemenuhan kewajiban adat. |
Pasal 117
Ketentuan mengenai diversi, tindakan, dan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 sampai dengan Pasal 116 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Pidana dan Tindakan bagi Korporasi
Pidana dan Tindakan bagi Korporasi
Paragraf 1
Pidana
Pidana
Pasal 118
a. | pidana pokok; dan |
b. | pidana tambahan. |
Pasal 119
Pasal 120
(1) | Pidana tambahan bagi Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 huruf b terdiri atas: | |
(2) | Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h, huruf j, dan huruf k dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun. |
Pasal 121
(1) | Pidana denda untuk Korporasi paling sedikit kategori IV, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. |
(2) | Dalam hal Tindak Pidana yang dilakukan diancam dengan: | |
Pasal 122
(1) | Pidana denda wajib dibayar dalam jangka waktu tertentu yang dimuat dalam putusan pengadilan. |
(2) | Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menentukan pembayaran pidana denda dengan cara mengangsur. |
Paragraf 2
Tindakan
Tindakan
Pasal 123
a. | pengambilalihan Korporasi; |
b. | penempatan di bawah pengawasan; dan/atau |
c. | penempatan Korporasi di bawah pengampuan. |
Pasal 124
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana dan tindakan bagi Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 sampai dengan Pasal 123 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Perbarengan
Perbarengan
Pasal 125
(2) | Suatu perbuatan yang diatur dalam aturan pidana umum dan aturan pidana khusus hanya dijatuhi aturan pidana khusus, kecuali Undang-Undang menentukan lain. |
Pasal 126
(1) | Jika terjadi perbarengan beberapa Tindak Pidana yang saling berhubungan sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut dan diancam dengan ancaman pidana yang sama, hanya dijatuhi 1 (satu) pidana. |
(2) | Jika perbarengan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diancam dengan pidana yang berbeda, hanya dijatuhi pidana pokok yang terberat. |
Pasal 127
(1) | Jika terjadi perbarengan beberapa Tindak Pidana yang harus dipandang sebagai Tindak Pidana yang berdiri sendiri dan diancam dengan pidana pokok yang sejenis, hanya dijatuhkan 1 (satu) pidana. |
Pasal 128
(2) | Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diancam pidana denda, penghitungan denda didasarkan pada lama maksimum pidana penjara pengganti pidana denda. |
Pasal 129
Jika dalam perbarengan Tindak Pidana dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, terdakwa tidak boleh dijatuhi pidana lain, kecuali pidana tambahan, yakni:
a. | pencabutan hak tertentu; |
b. | perampasan Barang tertentu; dan/atau |
c. | pengumuman putusan pengadilan. |
Pasal 130
(1) | Jika terjadi perbarengan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 dan Pasal 129, penjatuhan pidana tambahan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: | |
(2) | Ketentuan mengenai lamanya pidana pengganti bagi pidana perampasan Barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berlaku ketentuan pidana pengganti untuk denda. |
Pasal 131
(2) | Jika pidana yang dijatuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah mencapai maksimum pidana, hakim cukup menyatakan bahwa terdakwa bersalah tanpa perlu diikuti pidana. |
BAB IV
GUGURNYA KEWENANGAN PENUNTUTAN DAN PELAKSANAAN PIDANA
GUGURNYA KEWENANGAN PENUNTUTAN DAN PELAKSANAAN PIDANA
Bagian Kesatu
Gugurnya Kewenangan Penuntutan
Gugurnya Kewenangan Penuntutan
Pasal 132
(1) | Kewenangan penuntutan dinyatakan gugur jika: | |
(2) | Ketentuan mengenai gugurnya kewenangan penuntutan bagi Korporasi memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121. |
Pasal 133
Pasal 134
Seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam 1 (satu) perkara yang sama jika untuk perkara tersebut telah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 135
Jika putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 berasal dari pengadilan luar negeri, terhadap Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana yang sama tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:
a. | putusan bebas dari tuduhan atau lepas dari segala tuntutan hukum; atau |
b. | putusan berupa pemidanaan dan pidananya telah dijalani seluruhnya, telah diberi ampun, atau pelaksanaan pidana tersebut kedaluwarsa. |
Pasal 136
(1) | Kewenangan penuntutan dinyatakan gugur karena kedaluwarsa apabila: | |
(2) | Dalam hal Tindak Pidana dilakukan oleh Anak, tenggang waktu gugurnya kewenangan untuk menuntut karena kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikurangi menjadi 1/3 (satu per tiga). |
Pasal 137
a. | Tindak Pidana pemalsuan dan Tindak Pidana perusakan mata uang, kedaluwarsa dihitung mulai keesokan harinya setelah Barang yang dipalsukan atau mata uang yang dirusak digunakan; atau |
Pasal 138
(1) | Tindakan penuntutan Tindak Pidana menghentikan tenggang waktu kedaluwarsa. |
(3) | Setelah kedaluwarsa dihentikan karena tindakan penuntutan, mulai diberlakukan tenggang waktu kedaluwarsa baru. |
Pasal 139
Apabila penuntutan dihentikan untuk sementara waktu karena ada sengketa hukum yang harus diputuskan lebih dahulu, tenggang waktu kedaluwarsa penuntutan menjadi tertunda sampai sengketa tersebut mendapatkan putusan.
Bagian Kedua
Gugurnya Kewenangan Pelaksanaan Pidana
Gugurnya Kewenangan Pelaksanaan Pidana
Pasal 140
a. | terpidana meninggal dunia; |
b. | kedaluwarsa; |
c. | terpidana mendapat grasi atau amnesti; atau |
d. | penyerahan untuk pelaksanaan pidana ke negara lain. |
Pasal 141
Jika terpidana meninggal dunia, pidana perampasan Barang tertentu dan/atau tagihan yang telah disita tetap dapat dilaksanakan.
Pasal 142
(2) | Tenggang waktu kedaluwarsa pelaksanaan pidana harus melebihi lama pidana yang dijatuhkan kecuali untuk pidana penjara seumur hidup. |
(3) | Pelaksanaan pidana mati tidak mempunyai tenggang waktu kedaluwarsa. |
Pasal 143
(1) | Tenggang waktu kedaluwarsa pelaksanaan pidana dihitung keesokan Harinya sejak putusan pengadilan dapat dilaksanakan. |
(2) | Apabila terpidana melarikan diri sewaktu menjalani pidana maka tenggang waktu kedaluwarsa dihitung keesokan Harinya sejak tanggal terpidana tersebut melarikan diri. |
(3) | Apabila pembebasan bersyarat terhadap narapidana dicabut, tenggang waktu kedaluwarsa dihitung keesokan Harinya sejak tanggal pencabutan. |
(4) | Tenggang waktu kedaluwarsa pelaksanaan pidana ditunda selama: | |
BAB V
PENGERTIAN ISTILAH
PENGERTIAN ISTILAH
Pasal 144
Tindak Pidana adalah termasuk juga permufakatan jahat, persiapan, percobaan, dan pembantuan melakukan Tindak Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang.
Pasal 145
Pasal 146
Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, atau yang disamakan dengan itu, maupun perkumpulan yang tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbentuk firma, persekutuan komanditer, atau yang disamakan dengan itu.
Pasal 147
Barang adalah benda berwujud atau tidak berwujud, benda bergerak atau tidak bergerak termasuk air dan uang giral, aliran listrik, gas, data, dan program Komputer.
Pasal 148
Surat adalah dokumen yang ditulis di atas kertas, termasuk juga dokumen atau data yang tertulis atau tersimpan dalam disket, pita magnetik, atau media penyimpan Komputer atau media penyimpan data elektronik lain.
Pasal 149
Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik dan mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh Tindak Pidana.
Pasal 150
Pasal 151
Pasal 152
Pasal 153
Pasal 154
Pejabat adalah setiap warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas negara, atau diserahi tugas lain oleh negara, dan digaji berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu:
a. | aparatur sipil negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia; |
b. | pejabat negara; |
c. | pejabat publik; |
d. | pejabat daerah; |
e. | orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; |
f. | orang yang menerima gaji atau upah dari Korporasi yang seluruh atau sebagian besar modalnya milik negara atau daerah; atau |
g. | pejabat lain yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 155
a. | sakit atau luka yang tidak ada harapan untuk sembuh dengan sempurna atau yang dapat menimbulkan bahaya maut; |
b. | terus-menerus tidak cakap lagi melakukan tugas, jabatan, atau pekerjaan; |
c. | tidak dapat menggunakan lagi salah satu panca indera atau salah satu anggota tubuh; |
d. | cacat berat atau cacat permanen; |
e. | lumpuh; |
f. | daya pikir terganggu selama lebih dari 4 (empat) minggu; |
g. | gugur atau matinya kandungan; atau |
h. | rusaknya fungsi reproduksi. |
Pasal 156
Kekerasan adalah setiap perbuatan dengan atau tanpa menggunakan kekuatan fisik yang menimbulkan bahaya bagi badan atau nyawa, mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, atau psikologis, dan merampas kemerdekaan, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.
Pasal 157
Ancaman Kekerasan adalah setiap perbuatan berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut, cemas, atau khawatir akan dilakukannya Kekerasan.
Pasal 158
Di Muka Umum adalah di suatu tempat atau Ruang yang dapat dilihat, didatangi, diketahui, atau disaksikan oleh orang lain baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui media elektronik yang membuat publik dapat mengakses Informasi Elektronik atau dokumen elektronik.
Pasal 159
Harta Kekayaan adalah benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang memiliki nilai ekonomi.
Pasal 160
Makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya persiapan perbuatan tersebut.
Pasal 161
Pasal 162
Waktu Perang adalah termasuk waktu di mana bahaya Perang mengancam dan/atau ada perintah untuk mobilisasi Tentara Nasional Indonesia dan selama keadaan mobilisasi tersebut masih berlangsung.
Pasal 163
Musuh adalah termasuk juga pemberontak dan negara atau kekuasaan yang diperkirakan akan menjadi lawan Perang.
Pasal 164
Pasal 165
Memanjat adalah termasuk Masuk dengan melalui lubang yang sudah ada tetapi tidak untuk tempat orang lewat, atau Masuk melalui lubang dalam tanah yang sengaja digali, atau Masuk melalui atau menyeberangi selokan atau parit yang gunanya sebagai pembatas halaman.
Pasal 166
Anak Kunci Palsu adalah anak kunci duplikat termasuk juga segala perkakas, sistem elektronik, atau yang disamakan dengan itu yang tidak dimaksudkan untuk membuka kunci yang digunakan untuk membuka kunci.
Pasal 167
Pasal 168
Bangunan Listrik adalah bangunan yang digunakan untuk membangkitkan, mengalirkan, mengubah, atau menyerahkan tenaga listrik, termasuk alat yang berhubungan dengan itu, yaitu alat penjaga keselamatan, alat pemasang, alat pendukung, alat pencegah, atau alat pemberi peringatan.
Pasal 169
Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optikal, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.
Pasal 170
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, mempertukarkan data secara elektronik, Surat elektronik, telegram, pengkopian jarakjauh atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Pasal 171
Kode Akses adalah angka, huruf, simbol lainnya atau kombinasi diantaranya yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer, jaringan Komputer, internet, atau media elektronik lainnya.
Pasal 172
Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bunyi pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan Di Muka Umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Pasal 173
Pasal 174
Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis apa pun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.
Pasal 175
Penumpang adalah orang selain Nakhoda dan Anak Buah Kapal yang berada di Kapal atau orang selain kapten penerbang dan awak Pesawat Udara lain yang berada dalam Pesawat Udara.
Pasal 176
Pasal 177
Awak Kapal adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas Kapal oleh pemilik atau operator Kapal yang melakukan tugas di atas Kapal sesuai dengan jabatannya.
Pasal 178
Kapal Indonesia adalah Kapal yang didaftar di Indonesia dan memperoleh Surat tanda kebangsaan Kapal Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 179
Nakhoda adalah salah seorang Awak Kapal yang menjadi pemimpin tertinggi di Kapal dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 180
Pesawat Udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan.
Pasal 181
Dalam Penerbangan adalah jangka waktu sejak saat semua pintu luar Pesawat Udara ditutup setelah naiknya Penumpang sampai saat pintu dibuka untuk penurunan Penumpang, atau dalam hal terjadi pendaratan darurat penerbangan dianggap terus berlangsung sampai saat penguasa yang berwenang mengambil alih tanggung jawab atas Pesawat Udara dan Barang yang ada di dalam Pesawat Udara.
Pasal 182
Dalam Dinas Penerbangan adalah jangka waktu sejak saat Pesawat Udara disiapkan oleh awak darat atau oleh awak pesawat untuk penerbangan tertentu sampai lewat 24 (dua puluh empat) jam sesudah pendaratan.
Pasal 183
Ternak adalah hewan peliharaan yang diperuntukkan sebagai sumber pangan dan sumber mata pencaharian.
Pasal 184
Pasal 185
Pasal 186
BAB VI
ATURAN PENUTUP
ATURAN PENUTUP
Pasal 187