-
-
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2022
TENTANG
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH
-
--- PILIH BAB ---
-
-
BATANG TUBUH
BAB II
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
Bagian Kesatu
Pajak
Paragraf 1
Jenis Pajak
Pasal 4
(1)
|
Pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi terdiri atas:
|
|
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota terdiri atas:
|
|
|
|
|
|
|
g. |
Pajak Sarang Burung Walet;
|
|
|
|
(3)
|
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipungut oleh Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam Daerah kabupaten/kota otonom.
|
Pasal 5
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e serta Pasal 4 ayat (2) huruf a, huruf d, huruf e, huruf h, dan huruf i merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah.
|
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, huruf f, dan huruf g serta Pasal 4 ayat (2) huruf b, huruf c, huruf f, dan huruf g merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
|
(3)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang.
|
(4)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah.
|
(5)
|
Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
Pasal 6
(1)
|
Pemerintah Daerah dilarang memungut Pajak selain jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2).
|
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) dapat tidak dipungut, dalam hal:
|
a. |
potensinya kurang memadai; dan/atau
|
|
b. |
Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan untuk tidak memungut.
|
|
(3)
|
Jenis Pajak yang tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi.
|
Paragraf 2
PKB
Pasal 7
(1)
|
Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
|
(2)
|
Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
(3)
|
Yang dikecualikan dari Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
|
b. |
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
|
c. |
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari Pemerintah;
|
|
d. |
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan; dan
|
|
e. |
Kendaraan Bermotor lainnya yang ditetapkan dengan Perda.
|
|
Pasal 8
(1)
|
Subjek PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
|
(2)
|
Wajib PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.
|
Pasal 9
(1)
|
Dasar pengenaan PKB adalah hasil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok, yaitu:
|
a. |
nilai jual Kendaraan Bermotor; dan
|
|
b. |
bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
|
|
(2)
|
Dasar pengenaan PKB, khusus untuk Kendaraan Bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan nilai jual Kendaraan Bermotor.
|
(3)
|
Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu Kendaraan Bermotor.
|
(4)
|
Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
(5)
|
Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
|
(6)
|
Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, nilai jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:
|
a. |
harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
|
|
b. |
penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;
|
|
c. |
harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;
|
|
d. |
harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;
|
|
e. |
harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;
|
|
f. |
harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan
|
|
g. |
harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.
|
|
(7)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
a. |
koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan
|
|
b. |
koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
|
|
(8)
|
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dihitung berdasarkan faktor-faktor:
|
a. |
Tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;
|
|
b. |
jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor, yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan
|
|
c. |
jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder.
|
|
(9)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan dengan ketentuan:
|
a. |
untuk Kendaraan Bermotor bare ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri; dan
|
|
b. |
untuk selain Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dengan peraturan gubernur berdasarkan peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dengan memperhatikan penyusutan nilai jual Kendaraan Bermotor dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
|
(10)
|
Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
|
Pasal 10
(1)
|
Tarif PKB ditetapkan sebagai berikut:
|
a. |
untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama, ditetapkan paling tinggi 1,2% (satu koma dua persen); dan
|
|
b. |
untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya, dapat ditetapkan secara progresif paling tinggi sebesar 6% (enam persen).
|
|
(2)
|
Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam Daerah kabupaten/kota otonom, tarif PKB ditetapkan sebagai berikut:
|
a. |
untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama paling tinggi sebesar 2% (dua persen); dan
|
|
b. |
untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya, dapat ditetapkan secara progresif paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
|
|
(3)
|
Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, ditetapkan paling tinggi 0,5% (nol koma lima persen).
|
(4)
|
Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama.
|
(5)
|
Tarif PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) ditetapkan dengan Perda.
|
Pasal 11
(1)
|
Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (9) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5).
|
(2)
|
PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
(3)
|
PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
Paragraf 3
BBNKB
Pasal 12
(1)
|
Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.
|
(2)
|
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan atas:
|
|
b. |
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
|
c. |
Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah;
|
|
d. |
Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan; dan
|
|
e. |
Kendaraan Bermotor lainnya yang ditetapkan dengan Perda.
|
|
(4)
|
Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
|
|
b. |
untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan
|
|
c. |
digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
|
|
(5)
|
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.
|
Pasal 13
(1)
|
Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
(2)
|
Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
|
Pasal 14
Dasar pengenaan BBNKB adalah nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (9).
Pasal 15
(1)
|
Tarif BBNKB ditetapkan paling tinggi sebesar 12% (dua belas persen).
|
(2)
|
Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam Daerah kabupaten/kota otonom, tarif BBNKB ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).
|
(3)
|
Tarif BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Perda.
|
Pasal 16
(1)
|
Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3).
|
(2)
|
BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
(3)
|
Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran Kendaraan Bermotor.
|
(4)
|
Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran Kendaraan Bermotor baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
Paragraf 4
PAB
Pasal 17
(1)
|
Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
|
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
a. |
Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia;
|
|
b. |
Mat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan
|
|
c. |
kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat lainnya yang diatur dalam Perda.
|
|
Pasal 18
(1)
|
Subjek PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
(2)
|
Wajib PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
Pasal 19
(1)
|
Dasar pengenaan PAB adalah nilai jual Alat Berat.
|
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan.
|
(3)
|
Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata- rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
|
(4)
|
Penetapan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri.
|
(5)
|
Dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
|
Pasal 20
(1)
|
Tarif PAB ditetapkan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
|
(2)
|
Tarif PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.
|
Pasal 21
(1)
|
Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).
|
(2)
|
PAB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penguasaan Alat Berat.
|
Pasal 22
(1)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
|
(2)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut.
|
(3)
|
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dibayar sekaligus di muka.
|
(4)
|
Dalam hal terjadi keadaan kahar yang mengakibatkan penggunaan Alat Berat belum sampai 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak dapat mengajukan restitusi atas PAB yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
|
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan peraturan gubernur.
|
Paragraf 5
PBBKB
Pasal 23
Objek PBBKB adalah penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.
Pasal 24
(1)
|
Subjek Pajak PBBKB adalah konsumen BBKB.
|
(2)
|
Wajib Pajak PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB.
|
(3)
|
Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.
|
(4)
|
Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah produsen dan/atau importir bahan bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
|
Pasal 25
Dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.
Pasal 26
(1)
|
Tarif PBBKB ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
|
(2)
|
Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.
|
(3)
|
Untuk jenis BBKB tertentu, Pemerintah dapat menyesuaikan tarif PBBKB yang sudah ditetapkan dalam Perda dalam rangka stabilisasi harga.
|
(4)
|
Penyesuaian tarif PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
|
(5)
|
Tarif PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Perda.
|
Pasal 27
Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
Paragraf 6
PAP
Pasal 28
(1)
|
Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk:
|
a. |
keperluan dasar rumah tangga;
|
|
b. |
pengairan pertanian rakyat;
|
|
|
|
e. |
kegiatan yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau); dan
|
|
f. |
kegiatan lainnya yang ditetapkan dalam Perda, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|
Pasal 29
(1)
|
Subjek PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
(2)
|
Wajib PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
|
Pasal 30
(1)
|
Dasar Pengenaan PAP adalah nilai perolehan Air Permukaan.
|
(2)
|
Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan.
|
(3)
|
Harga dasar Air Permukaan ditetapkan dalam Rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Permukaan.
|
(4)
|
Bobot Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor:
|
a. |
lokasi pengambilan air;
|
|
|
c. |
kewenangan pengelolaan sumber daya air.
|
|
(5)
|
Besaran nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan gubernur.
|
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai harga dasar Air Permukaan dan bobot Air Permukaan ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum setelah mendapat pertimbangan dari Menteri.
|
Pasal 31
(1)
|
Tarif PAP ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
|
(2)
|
Tarif PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.
|
Pasal 32
(1)
|
Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2).
|
(2)
|
PAP yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada.
|
Paragraf 7
Pajak Rokok
Pasal 33
(1)
|
Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
|
(2)
|
Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok.
|
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
|
Pasal 34
(1)
|
Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
|
(2)
|
Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
|
(3)
|
Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
|
(4)
|
Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.
|
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok diatur dengan Peraturan Menteri.
|
Pasal 35
Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.
Pasal 36
Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
Pasal 37
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
Paragraf 8
PBB-P2
Pasal 38
(1)
|
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
|
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
a. |
Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
|
b. |
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
|
c. |
Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
|
d. |
Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
|
|
e. |
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
|
f. |
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri;
|
|
g. |
Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
|
h. |
Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Daerah; dan
|
|
i. |
Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah.
|
|
Pasal 39
(1)
|
Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
(2)
|
Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
Pasal 40
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
|
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
|
(3)
|
NJOP tidak kena pajak ditetapkan paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
|
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah kabupaten/kota, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
|
(5)
|
NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
(6)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
|
(7)
|
Besaran NJOP ditetapkan oleh Kepala Daerah.
|
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
|
Pasal 41
(1)
|
Tarif PBB-P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
|
(2)
|
Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan lebih rendah daripada tarif untuk lahan lainnya.
|
(3)
|
Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Perda.
|
Pasal 42
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3).
Pasal 43
(1)
|
Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
|
(2)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
|
(3)
|
Tempat PBB-P2 yang terutang adalah di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
|
Paragraf 9
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB)
Pasal 44
(1)
|
Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
(2)
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
a. |
pemindahan hak karena:
|
|
|
|
|
|
6. |
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
|
|
7. |
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
|
8. |
penunjukan pembeli dalam lelang;
|
|
9. |
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
|
|
|
12. |
pemekaran usaha; atau
|
|
|
|
b. |
pemberian hak baru karena:
|
1. |
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
|
2. |
di luar pelepasan hak.
|
|
|
(3)
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|
|
|
|
e. |
hak milik atas satuan rumah susun; dan
|
|
|
(4)
|
Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
a. |
untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
|
b. |
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
|
|
c. |
untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri;
|
|
d. |
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
|
e. |
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
|
|
f. |
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
|
g. |
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
|
|
h. |
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|
Pasal 45
(1)
|
Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
(2)
|
Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
Pasal 46
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak.
|
(2)
|
Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
a. |
harga transaksi untuk jual beli;
|
|
b. |
nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
|
|
c. |
harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
|
(3)
|
Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
(4)
|
Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
(5)
|
Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan paling sedikit sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
|
(6)
|
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan paling sedikit sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
|
(7)
|
Atas perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu, Pemerintah Daerah dapat menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak yang lebih tinggi daripada nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
|
(8)
|
Nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) ditetapkan dengan Perda.
|
Pasal 47
(1)
|
Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen).
|
(2)
|
Tarif BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.
|
Pasal 48
(1)
|
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5) atau ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2)
|
(2)
|
BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
|
Pasal 49
Saat terutangnya BPHTB ditetapkan:
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
|
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
|
d.
|
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
|
e.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak bare atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
f.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
|
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
Paragraf 10
PBJT
Pasal 50
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
a.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
e.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
Pasal 51
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
a. |
Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
|
|
b. |
penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
1. |
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
|
2. |
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
|
|
3. |
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
|
|
|
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
|
a. |
dengan peredaran usaha tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dalam Perda;
|
|
b. |
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
|
|
c. |
dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
|
|
d. |
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
|
|
Pasal 52
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
|
(2)
|
Yang dikecualikan dan konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
a. |
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
|
|
b. |
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
|
|
c. |
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
|
d. |
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
|
|
e. |
konsumsi Tenaga Listrik lainnya yang diatur dengan Perda.
|
|
Pasal 53
(1)
|
Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
i. |
rumah penginapan/guesthouse/bungalo/resort/cottage;
|
|
j. |
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
|
|
|
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
a. |
Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
|
|
b. |
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
|
c. |
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
|
d. |
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
|
e. |
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
|
Pasal 54
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf d meliputi:
|
a. |
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
|
|
b. |
pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
|
|
(2)
|
Yang dikecualikan dan jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
a. |
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
|
|
b. |
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
|
|
c. |
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan
|
|
d. |
jasa tempat parkir lainnya yang diatur dengan Perda.
|
|
Pasal 55
(1)
|
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf e meliputi:
|
a. |
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
|
|
b. |
pergelaran kesenian, musik, taxi, dan/atau busana;
|
|
|
|
|
f. |
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
|
g. |
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
|
h. |
permainan ketangkasan;
|
|
i. |
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
|
j. |
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
|
k. |
panti pijat dan pijat refleksi; dan
|
|
l. |
diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
|
|
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
a. |
promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
|
|
b. |
kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
|
|
c. |
bentuk kesenian dan hiburan lainnya yang diatur dengan Perda.
|
|
Pasal 56
(1)
|
Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
|
(2)
|
Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
|
Pasal 57
(1)
|
Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu.
|
(2)
|
Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
|
Pasal 58
(1)
|
Tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
|
(2)
|
Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).
|
(3)
|
Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
|
a. |
konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga persen); dan
|
|
b. |
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan paling tinggi 1,5% (satu koma lima persen).
|
|
(4)
|
Tarif PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Perda.
|
Pasal 59
(1)
|
Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (4).
|
(2)
|
PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
(3)
|
Saat terutangnya PBJT dihitung sejak saat pembayaran/penyerahan/konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
Paragraf 11
Pajak Reklame
Pasal 60
(1)
|
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
|
(2)
|
Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
a. |
Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
|
|
|
c. |
Reklame melekat/stiker;
|
|
|
e. |
Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
|
|
|
h. |
Reklame film/slide; dan
|
|
|
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
|
a. |
penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
|
|
b. |
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
|
|
c. |
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Perkada dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
|
|
d. |
Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
|
|
e. |
Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial; dan
|
|
f. |
Reklame lainnya yang diatur dengan Perda.
|
|
Pasal 61
(1)
|
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
|
(2)
|
Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
|
Pasal 62
(1)
|
Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
|
(2)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
|
(3)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
|
(4)
|
Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
(5)
|
Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Perkada.
|
Pasal 63
(1)
|
Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
(2)
|
Tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.
|
Pasal 64
(1)
|
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2).
|
(2)
|
Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.
|
(3)
|
Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
|
Paragraf 12
PAT
Pasal 65
(1)
|
Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
|
a. |
keperluan dasar rumah tangga;
|
|
b. |
pengairan pertanian rakyat;
|
|
|
|
e. |
keperluan keagamaan; dan
|
|
f. |
kegiatan lainnya yang diatur dengan Perda.
|
|
Pasal 66
(1)
|
Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
(2)
|
Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
Pasal 67
(1)
|
Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
|
(2)
|
Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
|
(3)
|
Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
|
(4)
|
Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
|
|
|
c. |
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
|
|
d. |
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
|
|
|
f. |
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
|
|
Pasal 68
(1)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) diatur dengan peraturan gubernur dengan berpedoman pada peraturan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
|
(2)
|
Peraturan yang ditetapkan oleh menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan kebijakan kemudahan berinvestasi dan ditetapkan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri.
|
Pasal 69
(1)
|
Tarif PAT ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).
|
(2)
|
Tarif PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.
|
Pasal 70
(1)
|
Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2).
|
(2)
|
PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
(3)
|
Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
Paragraf 13
Pajak MBLB
Pasal 71
(1)
|
Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
|
|
|
c. |
batu setengah permata;
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
z. |
fosfat;
|
|
bb. |
tanah serap (fullers earth);
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
ll. |
MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
|
|
mm. |
MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|
|
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan
|
a. |
untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan;
|
|
b. |
untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah; dan
|
|
c. |
untuk keperluan lainnya yang ditetapkan dengan Perda.
|
|
Pasal 72
(1)
|
Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
(2)
|
Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
Pasal 73
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
|
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
|
(3)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
|
(4)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
|
Pasal 74
(1)
|
Tarif Pajak MBLB ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).
|
(2)
|
Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam Daerah kabupaten/kota otonom, tarif Pajak MBLB ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
(3)
|
Tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Perda.
|
Pasal 75
(1)
|
Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3).
|
(2)
|
Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
Paragraf 14
Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 76
(1)
|
Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
|
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
a. |
pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak; dan
|
|
b. |
kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet lainnya yang ditetapkan dengan Perda.
|
|
Pasal 77
(1)
|
Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
|
(2)
|
Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
|
Pasal 78
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet.
|
(2)
|
Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah yang bersangkutan dengan volume sarang Burung Walet.
|
Pasal 79
(1)
|
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
|
(2)
|
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan dengan Perda.
|
Pasal 80
Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2).
Paragraf 15
Opsen
Pasal 81
Opsen dikenakan atas Pajak terutang dari:
Pasal 82
Wajib Pajak untuk Opsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 merupakan Wajib Pajak atas jenis Pajak:
Pasal 83
(1)
|
Tarif Opsen ditetapkan sebagai berikut:
|
a. |
Opsen PKB sebesar 66% (enam puluh enam persen);
|
|
b. |
Opsen BBNKB sebesar 66% (enam puluh enam persen); dan
|
|
c. |
Opsen Pajak MBLB sebesar 25% (dua puluh lima persen), dihitung dari besaran Pajak terutang.
|
|
(2)
|
Besaran tarif Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.
|
Pasal 84
(1)
|
Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenakan Opsen.
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
|
Paragraf 16
Bagi Hasil Pajak Provinsi
Pasal 85
(1)
|
Hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan sebesar 70% (tujuh puluh persen) kepada kabupaten/kota.
|
(2)
|
Hasil penerimaan PAP dibagihasilkan sebesar 50% (lima puluh persen) kepada kabupaten/kota.
|
(3)
|
Khusus untuk penerimaan PAP dari sumber air yang berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota, hasil penerimaan PAP dimaksud dibagihasilkan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan sebesar 80% (delapan puluh persen).
|
(4)
|
Hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan sebesar 70% (tujuh puluh persen) kepada kabupaten/kota.
|
(5)
|
Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) ditetapkan sebagai berikut:
|
a. |
PBBKB dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
|
|
b. |
PAP dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air; dan
|
|
c. |
Pajak Rokok dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan jumlah penduduk kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.
|
|
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil kepada kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Perda provinsi.
|
Paragraf 17
Penerimaan Pajak yang Diarahkan Penggunaannya
Pasal 86
(1)
|
Hasil penerimaan atas jenis pajak berikut:
|
|
b. |
PBJT atas Tenaga Listrik;
|
|
|
d. |
PAT, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota dapat dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang telah ditentukan penggunaannya.
|
|
(2)
|
Besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselaraskan dengan pelayanan publik yang berkaitan dengan jenis Pajaknya.
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
|