PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 78 TAHUN 2015
TENTANG
PENGUPAHAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 97 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan.
Mengingat:
1. | Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; |
2. | Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279). |
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGUPAHAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2. | Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. |
3. | Pengusaha adalah: | |
4. | Perusahaan adalah: | |
5. | Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. |
6. | Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syaratsyarat kerja dan tata tertib perusahaan. |
8. | Hubungan Kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. |
9. | Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. |
11. | Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. |
Pasal 2
Hak Pekerja/Buruh atas Upah timbul pada saat terjadi Hubungan Kerja antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha dan berakhir pada saat putusnya Hubungan Kerja.
BAB II
KEBIJAKAN PENGUPAHAN
KEBIJAKAN PENGUPAHAN
Pasal 3
(1) | Kebijakan pengupahan diarahkan untuk pencapaian penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi Pekerja/Buruh. |
(2) | Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: | |
BAB III
PENGHASILAN YANG LAYAK
PENGHASILAN YANG LAYAK
Pasal 4
(1) | Penghasilan yang layak merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan Pekerja/Buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup Pekerja/Buruh dan keluarganya secara wajar. |
(2) | Penghasilan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk: | |
Pasal 5
(1) | Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a terdiri atas komponen: | |
(4) | Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. |
Pasal 6
(1) | Pendapatan non Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b berupa tunjangan hari raya keagamaan. |
(2) | Selain tunjangan hari raya keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha dapat memberikan pendapatan non Upah berupa: | |
Pasal 7
(1) | Tunjangan hari raya keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) wajib diberikan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh. |
(2) | Tunjangan hari raya keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibayarkan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari raya keagamaan. |
(3) | Ketentuan mengenai tunjangan hari raya keagamaan dan tata cara pembayarannya diatur dengan Peraturan Menteri. |
Pasal 8
(1) | Bonus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a dapat diberikan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh atas keuntungan Perusahaan. |
(2) | Penetapan perolehan bonus untuk masing-masing Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. |
Pasal 9
(1) | Perusahaan dapat menyediakan fasilitas kerja bagi: | |
Pasal 10
(1) | Uang servis pada usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c dikumpulkan dan dikelola oleh Perusahaan. |
(3) | Ketentuan mengenai uang servis pada usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. |
BAB IV
PERLINDUNGAN UPAH
PERLINDUNGAN UPAH
Bagian Kesatu
Umum
Umum
Pasal 11
Setiap Pekerja/Buruh berhak memperoleh Upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya.
Bagian Kedua
Penetapan Upah
Penetapan Upah
Pasal 12
Upah ditetapkan berdasarkan:
a. | satuan waktu; dan/atau |
b. | satuan hasil. |
Pasal 13
»
(1) | Upah berdasarkan satuan waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a ditetapkan secara harian, mingguan, atau bulanan. |
(2) | Dalam hal Upah ditetapkan secara harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perhitungan Upah sehari sebagai berikut: | |
Pasal 14
(1) | Penetapan besarnya Upah berdasarkan satuan waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a dilakukan dengan berpedoman pada struktur dan skala Upah. |
(2) | Struktur dan skala Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun oleh Pengusaha dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. |
(3) | Struktur dan skala Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diberitahukan kepada seluruh Pekerja/Buruh. |
(4) | Struktur dan skala Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampirkan oleh Perusahaan pada saat permohonan: | |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan skala Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. |
Pasal 15
»
(1) | Upah berdasarkan satuan hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b ditetapkan sesuai dengan hasil pekerjaan yang telah disepakati. |
(2) | Penetapan besarnya Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengusaha berdasarkan hasil kesepakatan antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha. |
Pasal 16
Penetapan Upah sebulan berdasarkan satuan hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b, untuk pemenuhan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan ditetapkan berdasarkan Upah rata-rata 3 (tiga) bulan terakhir yang diterima oleh Pekerja/Buruh.
Bagian Ketiga
Cara Pembayaran Upah
Cara Pembayaran Upah
Pasal 17
»
(1) | Upah wajib dibayarkan kepada Pekerja/Buruh yang bersangkutan. |
(2) | Pengusaha wajib memberikan bukti pembayaran Upah yang memuat rincian Upah yang diterima oleh Pekerja/Buruh pada saat Upah dibayarkan. |
(3) | Upah dapat dibayarkan kepada pihak ketiga dengan surat kuasa dari Pekerja/Buruh yang bersangkutan. |
(4) | Surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya berlaku untuk 1 (satu) kali pembayaran Upah. |
Pasal 18
»
(1) | Pengusaha wajib membayar Upah pada waktu yang telah diperjanjikan antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh. |
Pasal 19
Pembayaran Upah oleh Pengusaha dilakukan dalam jangka waktu paling cepat seminggu 1 (satu) kali atau paling lambat sebulan 1 (satu) kali kecuali bila Perjanjian Kerja untuk waktu kurang dari satu minggu.
Pasal 20
Upah Pekerja/Buruh harus dibayarkan seluruhnya pada setiap periode dan per tanggal pembayaran Upah.
Pasal 21
»
(1) | Pembayaran Upah harus dilakukan dengan mata uang rupiah Negara Republik Indonesia. |
(2) | Pembayaran Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tempat yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. |
(3) | Dalam hal tempat pembayaran Upah tidak diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, maka pembayaran Upah dilakukan di tempat Pekerja/Buruh biasanya bekerja. |
Pasal 22
»
(1) | Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dapat dibayarkan secara langsung atau melalui bank. |
(2) | Dalam hal Upah dibayarkan melalui bank, maka Upah harus sudah dapat diuangkan oleh Pekerja/Buruh pada tanggal pembayaran Upah yang disepakati kedua belah pihak. |
Bagian Keempat
Peninjauan Upah
Peninjauan Upah
Pasal 23
»
(1) | Pengusaha melakukan peninjauan Upah secara berkala untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup dan/atau peningkatan produktivitas kerja dengan mempertimbangkan kemampuan Perusahaan. |
(2) | Peninjauan Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. |
Bagian Kelima
Upah Pekerja/Buruh Tidak Masuk Kerja dan/atau Tidak Melakukan Pekerjaan
Upah Pekerja/Buruh Tidak Masuk Kerja dan/atau Tidak Melakukan Pekerjaan
Pasal 24
»
(1) | Upah tidak dibayar apabila Pekerja/Buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan. |
(2) | Pekerja/Buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan: | |
(3) | Alasan Pekerja/Buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi: | |
(4) | Alasan Pekerja/Buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi: | |
Pasal 25
Pengusaha wajib membayar Upah apabila Pekerja/Buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi Pengusaha tidak mempekerjakannya, karena kesalahan sendiri atau kendala yang seharusnya dapat dihindari Pengusaha.
Pasal 26
»
(1) | Upah yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a sebagai berikut: | |
(3) | Upah yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf c sebagai berikut: | |
Pasal 27
»
(3) | Pekerja/Buruh yang menjalankan kewajiban terhadap negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memberitahukan secara tertulis kepada Pengusaha. |
Pasal 28
Pengusaha wajib membayar Upah kepada Pekerja/Buruh yang tidak masuk kerja atau tidak melakukan pekerjaannya karena menjalankan kewajiban ibadah yang diperintahkan oleh agamanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf b, sebesar Upah yang diterima oleh Pekerja/Buruh dengan ketentuan hanya sekali selama Pekerja/Buruh bekerja di Perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 29
Pengusaha wajib membayar Upah kepada Pekerja/Buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf c, sebesar Upah yang biasa diterima oleh Pekerja/Buruh.
Pasal 30
Pengusaha wajib membayar Upah kepada Pekerja/Buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena melaksanakan tugas pendidikan dari Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf d, sebesar Upah yang biasa diterima oleh Pekerja/Buruh.
Pasal 31
Pengusaha wajib membayar Upah kepada Pekerja/Buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5), sebesar Upah yang biasa diterima oleh Pekerja/Buruh.
Pasal 32
Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 31 ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.
Bagian Keenam
Upah Kerja Lembur
Upah Kerja Lembur
Pasal 33
Upah kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b wajib dibayar oleh Pengusaha yang mempekerjakan Pekerja/Buruh melebihi waktu kerja atau pada istirahat mingguan atau dipekerjakan pada hari libur resmi sebagai kompensasi kepada Pekerja/Buruh yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketujuh
Upah untuk Pembayaran Pesangon
Upah untuk Pembayaran Pesangon
Pasal 34
»
(2) | Dalam hal Pengusaha memberikan Upah tanpa tunjangan, dasar perhitungan uang pesangon dihitung dari besarnya Upah yang diterima Pekerja/Buruh. |
Pasal 35
Upah untuk pembayaran pesangon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) diberikan dengan ketentuan:
a. | dalam hal penghasilan Pekerja/Buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 (tiga puluh) kali penghasilan sehari; |
b. | dalam hal Upah Pekerja/Buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan Upah minimum provinsi atau kabupaten/kota; atau |
c. | dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan Upahnya didasarkan pada Upah borongan, maka perhitungan Upah sebulan dihitung dari Upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir. |
Bagian Kedelapan
Upah untuk Perhitungan Pajak Penghasilan
Upah untuk Perhitungan Pajak Penghasilan
Pasal 36
»
(1) | Upah untuk perhitungan pajak penghasilan yang dibayarkan untuk pajak penghasilan dihitung dari seluruh penghasilan yang diterima oleh Pekerja/Buruh. |
(2) | Pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibebankan kepada Pengusaha atau Pekerja/Buruh yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. |
(3) | Upah untuk perhitungan pajak penghasilan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. |
Bagian Kesembilan
Pembayaran Upah dalam Keadaan Kepailitan
Pembayaran Upah dalam Keadaan Kepailitan
Pasal 37
»
(1) | Pengusaha yang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pernyataan pailit oleh pengadilan maka Upah dan hak-hak lainnya dari Pekerja/Buruh merupakan hutang yang didahulukan pembayarannya. |
(2) | Upah Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Hak-hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya setelah pembayaran para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan. |
Pasal 38
Apabila Pekerja/Buruh jatuh pailit, Upah dan segala pembayaran yang timbul dari Hubungan Kerja tidak termasuk dalam kepailitan kecuali ditetapkan lain oleh hakim dengan ketentuan tidak melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari Upah dan segala pembayaran yang timbul dari Hubungan Kerja yang harus dibayarkan.
Bagian Kesepuluh
Penyitaan Upah Berdasarkan Perintah Pengadilan
Penyitaan Upah Berdasarkan Perintah Pengadilan
Pasal 39
Apabila uang yang disediakan oleh Pengusaha untuk membayar Upah disita oleh juru sita berdasarkan perintah pengadilan maka penyitaan tersebut tidak boleh melebihi 20% (dua puluh persen) dari jumlah Upah yang harus dibayarkan.
Bagian Kesebelas
Hak Pekerja/Buruh Atas Keterangan Upah
Hak Pekerja/Buruh Atas Keterangan Upah
Pasal 40
»
(1) | Pekerja/Buruh atau kuasa yang ditunjuk secara sah berhak meminta keterangan mengenai Upah untuk dirinya dalam hal keterangan terkait Upah tersebut hanya dapat diperoleh melalui buku Upah di Perusahaan. |
(2) | Apabila permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil maka Pekerja/Buruh atau kuasa yang ditunjuk berhak meminta bantuan kepada pengawas ketenagakerjaan. |
(3) | Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dirahasiakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
BAB V
UPAH MINIMUM
UPAH MINIMUM
Bagian Kesatu
Umum
Umum
Pasal 41
(1) | Gubernur menetapkan Upah minimum sebagai jaring pengaman. |
(2) | Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Upah bulanan terendah yang terdiri atas: | |
Pasal 42
»
(1) | Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) hanya berlaku bagi Pekerja/Buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada Perusahaan yang bersangkutan. |
(2) | Upah bagi Pekerja/Buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih dirundingkan secara bipartit antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha di Perusahaan yang bersangkutan. |
Pasal 43
»
(1) | Penetapan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dilakukan setiap tahun berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. |
(2) | Kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan standar kebutuhan seorang Pekerja/Buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan. |
(3) | Kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas beberapa komponen. |
(4) | Komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas beberapa jenis kebutuhan hidup. |
(5) | Komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan jenis kebutuhan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditinjau dalam jangka waktu 5 (lima) tahun. |
(6) | Peninjauan komponen dan jenis kebutuhan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan oleh Menteri dengan mempertimbangkan hasil kajian yang dilaksanakan oleh Dewan Pengupahan Nasional. |
(7) | Kajian yang dilaksanakan oleh Dewan Pengupahan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menggunakan data dan informasi yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik. |
(8) | Hasil peninjauan komponen dan jenis kebutuhan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi dasar perhitungan Upah minimum selanjutnya dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. |
(9) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kebutuhan hidup layak diatur dengan Peraturan Menteri. |
Pasal 44
(1) | Penetapan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dihitung dengan menggunakan formula perhitungan Upah minimum. |
(2) |
Formula perhitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut: UMn = UMt + {UMt x (Inflasit + % Δ PDBt)} |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan Upah minimum dengan menggunakan formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. |
Bagian Kedua
Penetapan Upah minimum Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota
Penetapan Upah minimum Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota
Pasal 45
»
(1) | Gubernur wajib menetapkan Upah minimum provinsi. |
(2) | Penetapan Upah minimum provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan formula perhitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2). |
(3) | Dalam hal telah dilakukan peninjauan kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (5), gubernur menetapkan Upah minimum provinsi dengan memperhatikan rekomendasi dewan pengupahan provinsi. |
(4) | Rekomendasi dewan pengupahan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada hasil peninjauan kebutuhan hidup layak yang komponen dan jenisnya ditetapkan oleh Menteri dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. |
Pasal 46
»
(1) | Gubernur dapat menetapkan Upah minimum kabupaten/kota. |
(2) | Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus lebih besar dari Upah minimum provinsi di provinsi yang bersangkutan. |
Pasal 47
»
(1) | Penetapan Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dihitung berdasarkan formula perhitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2). |
(2) | Dalam hal telah dilakukan peninjauan kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (5), gubernur menetapkan Upah minimum kabupaten/kota dengan memperhatikan rekomendasi bupati/walikota serta saran dan pertimbangan dewan pengupahan provinsi. |
(3) | Rekomendasi bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan saran dan pertimbangan dewan pengupahan kabupaten/kota. |
(4) | Rekomendasi bupati/walikota serta saran dan pertimbangan dewan pengupahan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan saran dan pertimbangan dewan pengupahan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada hasil peninjauan kebutuhan hidup layak yang komponen dan jenisnya ditetapkan oleh Menteri dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. |
Pasal 48
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upah minimum provinsi dan/atau kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Penetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota
Penetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota
Pasal 49
(1) | Gubernur dapat menetapkan Upah minimum sektoral provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan hasil kesepakatan asosiasi pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh pada sektor yang bersangkutan. |
(2) | Penetapan Upah minimum sektoral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat saran dan pertimbangan mengenai sektor unggulan dari dewan pengupahan provinsi atau dewan pengupahan kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan kewenangannya. |
(3) | Upah minimum sektoral provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus lebih besar dari Upah minimum provinsi di provinsi yang bersangkutan. |
(4) | Upah minimum sektoral kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus lebih besar dari Upah minimum kabupaten/kota di kabupaten/kota yang bersangkutan. |
Pasal 50
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upah minimum sektoral provinsi dan/atau kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VI
HAL-HAL YANG DAPAT DIPERHITUNGKAN DENGAN UPAH
HAL-HAL YANG DAPAT DIPERHITUNGKAN DENGAN UPAH
Pasal 51
(1) | Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah terdiri atas: | |
(2) | Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf d, dilaksanakan sesuai dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. |
Pasal 52
Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 yang menjadi kewajiban Pekerja/Buruh yang belum dipenuhi dan/atau piutang Pekerja/Buruh yang menjadi hak Pekerja/Buruh yang belum terpenuhi dapat diperhitungkan dengan semua hak yang diterima sebagai akibat Pemutusan Hubungan Kerja.
BAB VII
PENGENAAN DENDA DAN PEMOTONGAN UPAH
PENGENAAN DENDA DAN PEMOTONGAN UPAH
Bagian Kesatu
Pengenaan Denda
Pengenaan Denda
Pasal 53
Pengusaha atau Pekerja/Buruh yang melanggar ketentuan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama karena kesengajaan atau kelalaiannya dikenakan denda apabila diatur secara tegas dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Pasal 54
»
(1) | Denda kepada Pengusaha atau Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dipergunakan hanya untuk kepentingan Pekerja/Buruh. |
(2) | Jenis-jenis pelanggaran yang dapat dikenakan denda, besaran denda dan penggunaan uang denda diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. |
Pasal 55
»
(1) | Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 yang terlambat membayar dan/atau tidak membayar Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai denda, dengan ketentuan: | |||
|
||||
(2) | Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar Upah kepada Pekerja/Buruh. |
Pasal 56
»
(1) | Pengusaha yang terlambat membayar tunjangan hari raya keagamaan kepada Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dikenai denda sebesar 5% (lima persen) dari total tunjangan hari raya keagamaan yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha untuk membayar. |
(2) | Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar tunjangan hari raya keagamaan kepada Pekerja/Buruh. |
Bagian Kedua
Pemotongan Upah
Pemotongan Upah
Pasal 57
»
(1) | Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk: | |
(2) | Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk pihak ketiga hanya dapat dilakukan apabila ada surat kuasa dari Pekerja/Buruh. |
(3) | Surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setiap saat dapat ditarik kembali. |
(4) | Surat kuasa dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk semua kewajiban pembayaran oleh Pekerja/Buruh terhadap negara atau iuran sebagai peserta pada suatu dana yang menyelenggarakan jaminan sosial yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. |
(5) | Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk: | |
(6) | Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk kelebihan pembayaran Upah kepada Pekerja/Buruh dilakukan tanpa persetujuan Pekerja/Buruh. |
Pasal 58
Jumlah keseluruhan pemotongan Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 paling banyak 50% (lima puluh persen) dari setiap pembayaran Upah yang diterima Pekerja/Buruh.
BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 59
(1) | Sanksi administratif dikenakan kepada Pengusaha yang: | |
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: | |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. |
Pasal 60
(1) | Menteri, menteri terkait, gubernur, bupati/walikota, atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 kepada Pengusaha. |
(2) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan yang berasal dari: | |
(3) | Pemeriksaan yang dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 61
Pengusaha yang telah dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) tidak menghilangkan kewajibannya untuk membayar hak Pekerja/Buruh.
Pasal 62
Menteri terkait, gubernur, bupati/walikota, atau pejabat yang ditunjuk memberitahukan pelaksanaan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) kepada Menteri.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 63
a. | upah minimum provinsi yang masih dibawah kebutuhan hidup layak, gubernur wajib menyesuaikan Upah minimun provinsi sama dengan kebutuhan hidup layak secara bertahap paling lama 4 (empat) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan; |
b. | Pengusaha yang belum menyusun dan menerapkan struktur dan skala Upah, wajib menyusun dan menerapkan struktur dan skala Upah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini serta melampirkannya dalam permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) paling lama 2 (tahun) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan. |
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 64
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai pengupahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 65
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3190), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 66
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 23 Oktober 2015
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 23 Oktober 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 237
Pada Tanggal 23 Oktober 2015
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 23 Oktober 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 237