KOMPILASI HUKUM ISLAM
DETAIL PERATURAN
Berikut detail KOMPILASI HUKUM ISLAM
META | KETERANGAN |
---|---|
Judul | KOMPILASI HUKUM ISLAM |
SubJudul | |
Jenis | KHI |
Nomor | 1 |
Tahun | 1991 |
Tanggal Penetapan | 10 Juni 1991 |
Tanggal Pengundangan | 10 Juni 1991 |
Publikasi | NA |
Penjelasan | NA |
POHON PERATURAN
-
-
KOMPILASI HUKUM ISLAM
-
--- PILIH BUKU ---
-
BUKU KESATU HUKUM PERKAWINAN
- BAB I KETENTUAN UMUM
- BAB II DASAR-DASAR PERKAWINAN
- BAB III PEMINANGAN
- BAB IV RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN
- BAB V MAHAR
- BAB VI LARANGAN KAWIN
- BAB VII PERJANJIAN PERKAWINAN
- BAB VIII KAWIN HAMIL
- BAB IX BERISTERI LEBIH SATU ORANG
- BAB X PENCEGAHAN PERKAWINAN
- BAB XI BATALNYA PERKAWINAN
- BAB XII HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
- BAB XIII HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
- BAB XIV PEMELIHARAAN ANAK
- BAB XV PERWALIAN
- BAB XVI PUTUSNYA PERKAWINAN
- BAB XVII AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN
- BAB XVIII RUJUK
- BAB XIX MASA BERKABUNG
- BUKU KEDUA HUKUM KEWARISAN
- BUKU KETIGA HUKUM PERWAKAFAN
-
BUKU KESATU HUKUM PERKAWINAN
- BATANG TUBUH
-
BUKU KESATU
HUKUM PERKAWINAN
HUKUM PERKAWINAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
a. | Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita; |
b. | Wali Hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Mentri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya , yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah; |
c. | Akad Nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi; |
d. | Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam; |
g. | Pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri; |
i. | Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya; |
j. | Mut'ah adalah pemberian bekas suami kepada istri yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya. |
BAB II
DASAR-DASAR PERKAWINAN
DASAR-DASAR PERKAWINAN
Pasal 2
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 3
Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 5
(1) | Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. |
(2) | Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954. |
Pasal 6
(1) | Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. |
(2) | Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum. |
Pasal 7
(1) | Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. |
(2) | Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akat Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. |
(3) | Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: | |
(4) | Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. |
Pasal 8
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak.
Pasal 9
(1) | Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama. |
(2) | Dalam hal surat bukti yang dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama. |
Pasal 10
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
BAB III
PEMINANGAN
PEMINANGAN
Pasal 11
Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya.
Pasal 12
(1) | Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahya. |
(2) | Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj'i, haram dan dilarang untuk dipinang. |
(3) | Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan itu belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita. |
(4) | Putus pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang. |
Pasal 13
(1) | Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan. |
(2) | Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai. |
BAB IV
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Rukun
Rukun
Pasal 14
a. | Calon suami; |
b. | Calon Istri; |
c. | Wali Nikah; |
d. | Dua orang saksi, dan; |
e. | Ijab dan kabul. |
Bagian Kedua
Calon Mempelai
Calon Mempelai
Pasal 15
(2) | Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974. |
Pasal 16
(1) | Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. |
(2) | Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. |
Pasal 17
(1) | Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah. |
(2) | Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. |
(3) | Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. |
Pasal 18
Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI.
Bagian Ketiga
Wali Nikah
Wali Nikah
Pasal 19
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Pasal 20
(1) | Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. |
(2) | Wali nikah terdiri dari: | |
Pasal 21
(1) | Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. | |
(3) | Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah. |
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) | Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. |
(2) | Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut. |
Bagian Keempat
Saksi Nikah
Saksi Nikah
Pasal 24
(1) | Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. |
(2) | Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. |
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.
Bagian Kelima
Akad Nikah
Akad Nikah
Pasal 27
Pasal 28
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 29
(1) | Yang berhak mengucapkan kabul adalah calon mempelai pria secara pribadi. |
(3) | Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan. |
BAB V
MAHAR
MAHAR
Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita dengan jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33
(1) | Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai. |
(2) | Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria. |
Pasal 34
(1) | Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan. |
(2) | Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan. |
Pasal 35
(1) | Suami yang mentalak isterinya qabla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah. |
(2) | Apabila suami meninggal dunia qabla al dukhul seluruh mahar ditetapkan menjadi hak penuh istrinya. |
(3) | Apabila perceraian terjadi qabla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil. |
Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.
Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke pengadilan agama.
Pasal 38
(1) | Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang tetapi calon mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas. |
(2) | Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar. |
BAB VI
LARANGAN KAWIN
LARANGAN KAWIN
Pasal 39
1. | Karena pertalian nasab: | |
2. | Karena pertalian kerabat semenda: | |
3. | Karena pertalian sesusuan: | |
Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. | karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; |
b. | seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; |
c. | seorang wanita yang tidak beragama islam. |
Pasal 41
(1) | Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya; | |
(2) | Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj'i, tetapi masih dalam masa iddah. |
Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj'i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj'i.
Pasal 43
(1) | Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria: | |
(2) | Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba'da dukhul dan telah habis masa iddahnya. |
Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
BAB VII
PERJANJIAN PERKAWINAN
PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 45
1. | Taklik talak dan |
2. | Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. |
Pasal 46
(1) | Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. |
(3) | Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali. |
Pasal 47
(1) | Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. |
(2) | Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam. |
Pasal 48
(1) | Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. |
Pasal 49
(1) | Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan. |
Pasal 50
(1) | Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkannya perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah. |
(2) | Perjanjian perkawinan mengenai harta, dapat dicabut atas persetujuan bersama suami istri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan. |
(4) | Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman itu tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat pihak ketiga. |
(5) | Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga. |
Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajikannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
Pasal 52
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajikannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
BAB VIII
KAWIN HAMIL
KAWIN HAMIL
Pasal 53
(1) | Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. |
(2) | Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. |
(3) | Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. |
Pasal 54
(1) | Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga boleh bertindak sebagai wali nikah. |
(2) | Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram perkawinannya tidak sah. |
BAB IX
BERISTERI LEBIH SATU ORANG
BERISTERI LEBIH SATU ORANG
Pasal 55
(1) | Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri. |
(2) | Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap ister-isteri dan anak-anaknya. |
(3) | Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang. |
Pasal 56
(1) | Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. |
(2) | Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. |
(3) | Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum. |
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. | isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri; |
b. | isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; |
c. | isteri tidak dapat melahirkan keturunan. |
Pasal 58
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
BAB X
PENCEGAHAN PERKAWINAN
PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal 60
(1) | Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan. |
Pasal 61
Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.
Pasal 62
(2) | Ayah kandung yang tidak pernah melaksankan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain. |
Pasal 63
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan.
Pasal 64
Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi.
Pasal 65
(1) | Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah Hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah. |
(2) | Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai Pencatat Nikah. |
Pasal 66
Pasal 67
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau dengan putusan Pengadilan Agama.
Pasal 68
Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10 atau pasal 12 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
Pasal 69
(1) | Apabila pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. |
(5) | Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka. |
BAB XI
BATALNYA PERKAWINAN
BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 70
a. | Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj'i; |
b. | seseorang menikah bekas isterinya yang telah di li'annya; |
d. | perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No 1 Tahun 1974, yaitu: | |
e. | isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya. |
Pasal 71
a. | seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; |
b. | perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud. |
c. | perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain; |
d. | perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang-undang No 1 Tahun 1974; |
e. | perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; |
f. | perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. |
Pasal 72
(1) | Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. |
(2) | Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri. |
Pasal 73
a. | para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri; |
b. | Suami atau isteri; |
c. | Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang; |
d. | para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67. |
Pasal 74
(1) | Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan. |
(2) | Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. |
Pasal 75
a. | perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad; |
b. | anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; |
c. | pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber'itikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekuatan hukum yang tetap. |
Pasal 76
BAB XII
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
Bagian Kesatu
Umum
Umum
Pasal 77
(1) | Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat; |
(2) | Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain; |
(3) | Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya; |
(4) | suami isteri wajib memelihara kehormatannya; |
(5) | jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. |
Pasal 78
(1) | Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. |
(2) | Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentulan oleh suami isteri bersama. |
Bagian Kedua
Kedudukan Suami Isteri
Kedudukan Suami Isteri
Pasal 79
(1) | Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. |
(2) | Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. |
(3) | masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. |
Bagian Ketiga
Kewajiban Suami
Kewajiban Suami
Pasal 80
(1) | Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama. |
(2) | Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. |
(3) | Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. |
(4) | Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung: | |
(5) | Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya. |
(6) | Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b. |
(7) | Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz. |
Bagian Keempat
Tempat Kediaman
Tempat Kediaman
Pasal 81
(1) | Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah. |
(2) | Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat. |
Bagian Kelima
Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih Dari Seorang
Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih Dari Seorang
Pasal 82
(2) | Dalam hal para isteri rela dan ihlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman. |
Bagian Keenam
Kewajiban Isteri
Kewajiban Isteri
Pasal 83
(1) | Kewajiban utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum islam. |
(2) | Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. |
Pasal 84
(1) | Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah. |
(2) | Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. |
(3) | Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah isteri nusyuz. |
(4) | Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah. |
BAB XIII
HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.
Pasal 86
(1) | Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. |
(2) | Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. |
Pasal 87
(2) | Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya. |
Pasal 88
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 89
Pasal 90
Pasal 91
(1) | Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. |
(2) | Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga. |
(3) | Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban. |
(4) | Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya. |
Pasal 92
Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
Pasal 93
(1) | Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing. |
(2) | Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama. |
(3) | Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami. |
(4) | Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri. |
Pasal 94
(1) | Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. |
Pasal 95
(2) | Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan izin Pengadilan Agama. |
Pasal 96
(1) | Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. |
Pasal 97
Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
BAB XIV
PEMELIHARAAN ANAK
PEMELIHARAAN ANAK
Pasal 98
(1) | Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. |
(2) | Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. |
(3) | Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu. |
Pasal 99
a. | anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; |
b. | hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. |
Pasal 100
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal 101
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li'an.
Pasal 102
(2) | Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima. |
Pasal 103
(1) | Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya. |
Pasal 104
(2) | Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya. |
Pasal 105
a. | Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; |
b. | Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; |
c. | biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. |
Pasal 106
(2) | Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1). |
BAB XV
PERWALIAN
PERWALIAN
Pasal 107
(1) | Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan. |
(2) | Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya. |
(3) | Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut. |
(4) | Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum. |
Pasal 108
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.
Pasal 109
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.
Pasal 110
(3) | Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya. |
Pasal 111
(1) | Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah. |
(2) | Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya. |
Pasal 112
Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma'ruf kalau wali fakir.
BAB XVI
PUTUSNYA PERKAWINAN
PUTUSNYA PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Umum
Umum
Pasal 113
a. | Kematian; |
b. | Perceraian; dan |
c. | atas putusan Pengadilan. |
Pasal 114
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
Pasal 115
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Pasal 116
a. | salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; |
b. | salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; |
c. | salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; |
d. | salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; |
e. | sakah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; |
f. | antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; |
g. | Suami melanggar taklik talak; |
h. | peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. |
Pasal 117
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.
Pasal 118
Talak Raj'i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah.
Pasal 119
(1) | talak Ba'in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. |
(2) | Talak Ba'in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah: | |
Pasal 120
Talak Ba'in Kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da al dukhul dan hadis masa iddahnya.
Pasal 121
Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
Pasal 122
Talak bid'I adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
Pasal 123
Pasal 124
Pasal 125
Pasal 126
Li'an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.
Pasal 127
c. | tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan; |
d. | apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li'an. |
Pasal 128
Bagian Kedua
Tata Cara Perceraian
Tata Cara Perceraian
Pasal 129
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Pasal 130
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi.
Pasal 131
(3) | Setelah keputusannya mempunyai kekuatan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya didepan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya. |
Pasal 132
(2) | Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat. |
Pasal 133
(1) | Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf b, dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan gugatan meninggalkan rumah. |
(2) | Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama. |
Pasal 134
Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut.
Pasal 135
Gugatan perceraian karena alasan suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 136
(2) | Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat: | |
Pasal 137
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian itu.
Pasal 138
(2) | Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. |
(3) | Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. |
Pasal 139
(2) | Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua |
(3) | Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. |
Pasal 140
Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 132 ayat (2), panggilan disampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 141
(1) | Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian. |
(2) | Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatian tenyang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa meeka. |
Pasal 142
(1) | Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya. |
(2) | Dalam hal suami atau isteri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan Hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri. |
Pasal 143
(1) | Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak. |
(2) | Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. |
Pasal 144
Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.
Pasal 145
Pasal 146
(1) | Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka. |
(2) | Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. |
Pasal 147
Pasal 148
(1) | Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya. |
(2) | Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing. |
(3) | Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khuluk, dan memberikan nasehat-nasehatnya. |
(5) | Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat (5). |
(6) | Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau iwadl Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa. |
BAB XVII
AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN
AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Akibat Talak
Akibat Talak
Pasal 149
a. | memberikan mut'ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qabla al dukhul; |
b. | memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah di jatuhi talak ba'in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil; |
c. | melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qabla al dukhul; |
d. | memberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. |
Pasal 150
Pasal 151
Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.
Pasal 152
Bagian Kedua
Waktu Tunggu
Waktu Tunggu
Pasal 153
(1) | Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qabla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. |
(2) | Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut: | |
(3) | Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla al dukhul. |
(5) | Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid. |
Pasal 154
Apabila isteri bertalak raj'i kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6)pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya.
Pasal 155
Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li'an berlaku iddah talak.
Bagian Ketiga
Akibat Perceraian
Akibat Perceraian
Pasal 156
a. | anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: | |
b. | anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya; |
d. | semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). |
e. | bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (d). |
f. | pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. |
Pasal 157
Bagian Keempat
Mut'ah
Mut'ah
Pasal 158
a. | belum ditetapkan mahar bagi isteri ba'da al dukhul; |
b. | perceraian itu atas kehendak suami. |
Pasal 159
Pasal 160
Bagian Kelima
Akibat Khuluk
Akibat Khuluk
Pasal 161
Bagian Keenam
Akibat Li'an
Akibat Li'an
Pasal 162
Bilamana li'an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.
BAB XVIII
RUJUK
RUJUK
Bagian Kesatu
Umum
Umum
Pasal 163
(1) | Seorang suami dapat merujuk isterinya yang dalam masa iddah. |
(2) | Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal: | |
Pasal 164
Seorang wanita dalam iddah talak raj'i berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi.
Pasal 165
Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Pasal 166
Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang mengeluarkannya semula.
Bagian Kedua
Tata Cara Rujuk
Tata Cara Rujuk
Pasal 167
(2) | Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. |
(4) | Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk. |
(5) | Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami isteri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk. |
Pasal 168
(2) | Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan. |
(3) | Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua, dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya. |
Pasal 169
(3) | Catatan yang dimaksud ayat (dua) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan Panitera. |
BAB XIX
MASA BERKABUNG
MASA BERKABUNG
Pasal 170
(1) | Isteri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah. |
(2) | Suami yang tinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan. |